Posted by : Unknown Senin, 20 November 2017

ETIKA POLITIK DALAM PEMILUKADA
A.  Etika Politik.
                   Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti memiliki watak, adat ataupun kesusilaan. Jadi pada dasarnya etika dapat diartikan sebagai suatu kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan. Drs. Inu Kencana mengemukakan bahwa, etika adalah sama dengan kesusilaan yang berarti norma kehidupan. Etika menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma yang baik. Etika merupakan setiap kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa taat dan patuh kepada seperangkat peraturan kesusilaan

                   Sementara itu, menurut Miriam Budiarjo politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Berdasarkan hal ini, etika politik dapat dimaknai sebagai refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah tentang perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Integritas publik menuntut para pemimpin dan pejabat publik untuk memiliki komitmen moral dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penilaian kelembagaan, dimensi-dimensi peribadi, dan kebijaksanaan di dalam pelayanan publik
                   Aristoteles penah mengemukakan bahwa, etika dan politik itu terdapat hubungan yang pararel. Hubungan itu tersimpul pada tujuan yang sama-sama ingin dicapai, yaitu: terbinanya warga negara yang baik, yang susila, yang setia kepada negara dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan kewajiban moral bagi setiap warga negara, sebagai modal pokok untuk membentuk kehidupan bernegara, berpolitik yang baik, dalam arti makmur, tenteram dan sejahtera
                   Etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dan dipertanggungjawabkan pada prinsip moral. Etika politik dapat membantu masyarakat untuk mengejewantahkan ideology Negara yang luhur kedalam realitas politik yang nyata. Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia bukan hanya sebagai warga Negara, terhadap Negara dan hokum yang berlaku.
B.  Pemilukada.
                   Pemilihan Umum Kepala Daerah atau yang biasa disingkat dengan Pemilukada atau Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.
                   Pemilukada merupakan instrumen yang sangat penting dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.
                   Pemilukada merupakan pengejeantahan dari proses demokrasi di tingkat daerah. Pemilukada menjadi ajang partisipasi masyarakat untuk ikut andil dalam pesta demokrasi yang juga memilih pemimpin daerahnya. Oleh karena itu, Pemilukada merupakan ritual sacral dan harus dijaga penyelenggaraannya karena menyangkur kepentingan masyarakat luas dan tentunya terkait dengan penentuan masa depan sebuah daerah.
C.  Etika Politik dalam Pemilukada.
                   Pemilukada pertama kali diperkenalkan melalui UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mekanisme ini dipilih sebagai langkah koreksional pembentuk undang-undang terhadap mekanisme demokrasi perwakilan yang terapkan berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD. Pemilukada diharapkan akan lebih mendekati makna demokrasi yang sesungguhnya dimana rakyat memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemerintahan.
                   Pada awal pelaksaannya, pemilukada disambut dengan apresiasi yang begitu tinggi oleh masyarakat. Antusiasme masyarakat ditunjukan dengan besarnya tingkat partisipasi setiap kali pemilukada dilaksanakan atau diselenggarakan. Hal ini wajar mengingat Demokrasi pada dasarnya memang selalu menyediakan wadah yang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Maka tak heran jika kemudian banyak yang mengaggap bahwa semakin rendah partisipasi masyarakat dalam pemilukada semakin rendah pula kualitas pemilukada.
                   Seiring berjalannya waktu, tingkat partisipasi dan antusiasnme masyarakat terhadap pelaksanaan pemilukada ternyata lambat laun mengalami penurunan. Masyarakat tidak lagi memiliki antusias dan semangat yang besar untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemilukada. Hal ini tentu memiliki penyebab dan alansan tertentu mengingat masyarakat kita pada umumnya telah sadar betul dengan tujuan dan konsekuensi dari pemilukada itu sendiri.
                   Mahfud MD dalam tulisannya tentang Evalusasi Pemilukada dalam Persfektif Demokrasi dan Hukum (2012), mengatakan bahwa terdapat sekurang-kurangnya 4 (empat) penyebab menurunnya partisipasi masyarakat dalam Pemilukada yaitu, pertama, masyarakat secara sadar memang tidak mau menggunakan hak pilihnya karena dilandasi oleh sikap apatis. Bagi mereka, menggunakan atau tidak menggunakan hak suara dalam Pemilukada maknanya sama saja dan tidak memberikan pengaruh signifikasn dalam keseharian hidup. Kedua, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul dan tidak akurat berkonstribusi besar melemahkan semangat masyarakat yang semula berniat untuk berpartisipasi. Ketiga, masyarakat pemilih cenderung lebih mendahulukan kepentingan individualnya, seperti bekerja, berladang, merantau, atau sekolah ketimbang hadir ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Keempat, partisipasi dalam Pemilukada didorong semangat pragmatisme masyarakat. Kalau ada kandidat yang member keuntungan mereka mau berpartisipasi, kalau tidak maka tidak perlu berpartisipasi.
                   Alasan atau penyebab penurunan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan pemilukada seperti yang dikatakan Mahmud MD ini merupakan dampak dari pelanggaran etika dalam berpolitik yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Sehingga masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap pelaksanaan pemilikada yang sehat. Fenomena seperti ini memberikan pergeseran makna dari Pemilukada yang dulunya merupakan momen pesta demokrasi, menjadi fenomena politik yang selalu diwarnai persoalan. Jika kita cermati lebih jauh, persoalan-persoalan yang terjadi pada Pemilukada sangatlah kompleks karena dapat terjadi disemua tahapan Pemilukada.
                   Jika melihat kondisi Pelaksanaan Pemilukada sekarang ini dengan permasalahan yang kompleks, maka wajar jika kemudian masyarakat mulai apatis atau hilang kepercayaan dengan pelaksanaan Pemilukada. Kompleksitas permasalahan dalam pemilukada ini dapat digambarkan dalam beberapa permasalahan utama yang dianggap menciderai etika politik.
                   Pertama, Pemilukada seakan-akan menjadi arena rivalitas kekuasaan secara tidak sehat sehingga belum dapat melahirkan pemimpin yang dapat bertanggung jawab, mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Contoh kasus seperti ada banyak kita temui diberbagai daerah di tanah air, dimana banyak kepala daerah hasil Pemilukada yang bermasalah terutama dengan hukum. Data menunjukan bahwa pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, yang telah mengeluarkan sekitar 150 surat izin pemeriksaan kepala daerah. Artinya, sekitar 20 hingga 25 persen dari jumlah seluruh kepala daerah hasil Pemilukada bermasalah.[1]
                   Kedua, Pemilukada mendorong sikap atau moral pragmatisme, baik calon kepala daerah, penyelenggara Pemilukada, maupun masyarakat. Etika yang cenderung pragmatism inilah yang kemudian membuat politik uang (money politic) mewarnai setiap tahapan Pemilukada. Meskipun sama bahayanya bagi setiap kalangan, namun saya mengaggap bahwa pelanggaran etika yang cenderung menimbulkan pragmatism ini lebih parah dilaksanakan oleh para Penyelenggara Pemilukada. Pragmatisme akan membuat para penyelenggara Pemilukada menjadi tidak professional, kehilangan integritas, tidak akuntabel dan tidak mandiri yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas dan keaslian Pemilukada. Hal ini sangat miris mengingat para penyelenggara Pemilukada yang pada dasarnya adalah jabatan yang paling berperan penting dalam pelaksanaan Pemilukada ternyata begitu mudahnya dipengaruhi dengan iming-iming harta atau uang. Etika politik seakan-akan bukan hal yang mesti dijaga. Hasilnya, hal seperti inilah yang pada dasarnya menjadi sumbu terjadinya tindakan-tindakan anarkis dari pendukung pasangan calon yang kalah kaarena tidak relevannya hasil Pemilukada.
                   Ketiga, Pemilukada mengekalkan oligarki kekuasaan sekaligus melahirkan orang-orang yang kecanduan kekuasaan. Kita mungkin sudah tidak asing dengan istilah politik dinasti, sebuah fenomena dalam perebutan kekuasaan di daerah. Buktinya, sejauh ini telah ada kepala daerah yang telah menjabat sebanyak dua periode namun tetap maju pada pemilihan selanjutnya meskipun itu hanya menjadi wakil. Atau para mantan kepala daerah mendorong istri atau anaknya untuk ikut dalam pencalonan. Bahkan yang lebih miris lagi, ada bupati di sebuah daerah yang jelas-jelas korupsi dan dinyatakan gagal dalam kepemimpinannya, namun seakan tak punya dosa dia tetap maju lagi dalam pemilihan.
                   Keempat, Pemilukada menimbulkan persoalan anggaran. Sudah tidak bisa kita pungkiri bahwa Penyelenggaraan Pemilukada memakan dana yang begitu besar. Hal ini sendiri pernah disebut oleh presiden SBY dalam pidato kenegaraannya bahwa pilkada langsung yang dilaksanakan menyuguhkan kecenderungan praktik demokrasi dengan biaya tinggi. Beban biaya di daerah terkadang tersedot dengan pelaksanaan Pemilukada ini, hal ini berdasarkan pasal 112 UU Nomor 32 tahun 2004. Namun demikian, saat ini telah diterbitkan mekanisme baru dalam pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara serentak atau brsama-sama di berbagai daerah. Tentunya kebijakan baru ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar terkait tingginya dana yang dikeluarkan disbanding pelaksanaan Pemilukada sebelumnya.
                   Kelima, Pemilukada memicu politisasi birokrasi. Netralitas birokrasi, sebuah jargon yang menunjukan cita-cita mulia dimana birorasi harus netral tanpa adanya politisasi didalamnya. Namun hal ini seakan-akan cuma sekedar motto belaka. Di berbagai daerah, calon kepala daerah petahana hampir selalu melibatkan mobilisasi massa PNS, baik itu pegawai biasa, camat, kepala desa, lurah dan lain-lain untuk memenangkan dirinya. Tentunya dengan iming-iming jabatan atau hal menggiurkan lainnya. Padahal dalam aturan, birokrasi diharuskan bebas dari pengaruh ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik sehingga diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan oleh birokrasi netral, tidak memihak, dan objektif.
                    Berdasarkan gambaran tentang permasalahan yang terjadi seputar penyelenggaraan Pemilukada di atas. Kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa kondisi perpolitikan di negara ini telah meninggalkan prinsip-prinsip dasar serta etika dalam berpolitik. Etika bukan lagi hal tabu yang harus dijaga dan ditaati, etika dewasa ini seakan-akan menjadi sebuah pelengkap semata dalam sebuah konsep perpolitikan yang hanya dimiliki sebagai pencitraan semata tanpa bukti etiket dalam realisasinya.

                   Oleh karena itu, wajar jika kemudian masyarakat mulai apatis dan hilang semangat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah, masyarakat mulai sadar dengan carut marut dalam penyelenggaraan Pemilukada, sehingga ikut atau tidak ikut dalam pelaksanaan hanya buang-buang waktu, toh hasilnya pasti mengikuti calon dengan modal yang banyak.
                   Disisi lain, masyarakat juga mulai ikut memainkan peran antagonis dalam penyelenggaraan Pemilukada dengan moral pragmatisnya yang cenderung memilih karena iming-iming uang yang kadang diistilahkan dengan “Berjuang” Beras, baju dan uang. Masyarakat memilih asalkan ada nilai tukar yang sepadan. Fenomena sperti ini harus segera dicari jalan keluarnya, karena hal seperti ini adalah bukti nyata kehancuran system demokrasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran dari semua elemen masyarakat untuk kembali kepada etika dalam perpolitikan dan aturan serta norma yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kamajuan bangsa ini kedepan.

D.  Penutup/Kesimpulan.
                   Etika politik merupakan aturan, nilai dan norma moral yang harus dipegang teguh oleh setiap manusia. karena manusia pada dasarnya adalah makhluk politik (zoon politicon). Etika berkaitan dengan bagaimana manusia menggunakan dan menyelenggarakan kekuasaan dengan baik untuk kepentingan bersama tanpa merugikan pihak lain. Aristoteles penah mengemukakan bahwa, etika dan politik itu terdapat hubungan yang pararel. Hubungan itu tesimpul pada tujuan yang sama-sama ingin dicapai, yaitu: terbinanya warga negara yang baik, yang susila, yang setia kepada negara dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan kewajiban moral bagi setiap warga negara, sebagai modal pokok untuk membentuk kehidupan bernegara, berpolitik yang baik, dalam arti makmur, tenteram dan sejahtera.
                   Pemilukada adalah bagian penting dari demokrasi yang merupakan ajang dimana masyarakat ikut andil dalam dunia politik. Oleh karena itu, penyelenggaraan Pemilukada tidak boleh mengabaikan etika politik dalam Pelaksanannya, hal ini berkaitan dengan adanya permainan atau pelanggaran etika yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang tujuannya sama yakni memenangkan salah satu kandidat namun dengan cara yang tidak sesuai dengan etika politik. Padalah Pemilukada meruapakan ritual sacral untuk menentukan arah masa depan sebuah daerah. Pemilukada sejauh ini memiliki polemic dan segudang masalah dalam penyelenggaraannya, sehingga hal ini mengakibatkan masyarakat enggan untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanannya.
                   Penyelenggaraan Pemilukada yang baik adalah ketika masyarakat dengan penuh kesadaran ikut berpartisispasi dalam Pelaksanaan Pemilukada tanpa adanya unsure-unsur lain yang mendasari. Pemilukada yang baik haruslah lepas dari permainan-permainan dari pihak manapun sehingga masyarakat bisa dengan sadar (objektif) dalam memilih pemimpin masa depan. Oleh karena itu, masyarakat baik itu pemerintah, penyelenggara Pemilukada, masyarakat awam atau pihak manapun harus mulai sadar bahwa etika bukanhal yang seharusnya diabaikan, karena ini menyangkut masa depan bangsa dan negara.







[1] Haryadi, Demokrasi Lokal, (Jakarta:Konstitusi Press, 2012) Halaman 10.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kaum Cerdas Cendekiawan - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -